Bagaimana
perasaan seorang ibu setelah melahirkan? Senang, bahagia, lega, dan entah
perasaan apa lagi bercampur-aduk menjadi satu. Kebahagiaan itu bisa lenyap
begitu saja, hancur berkeping-keping oleh sepatah kata dari dokter : “Down
Syndrome”, “Autis” atau apa pun yang intinya mengatakan bahwa bayi yang baru
lahir itu, kelak akan menjadi seorang tunadaksa. Kebahagiaan itu tiba-tiba
lenyap seperti balon air yang pecah. Dan lengkung pelangi dalam
gelembung-gelembung sabun itu pun lenyap. Keindahannya hanya bisa tertangkap
mata sejenak untuk sesudahnya memercik pedih di mata kita.
“Byar.............!!!!!
Yang ada cuma bengong, nangis sampai disentak oleh dokternya ‘Sudah bu nanti
aja nangisnya, sekarang bukan waktunya. Sekarang harus cari jalan keluarnya’”
Begitu
pengakuan seorang ibu di sebuah milis, ketika anaknya divonis menderita autis.
Mendapatkan anak dengan kelainan merupakan pukulan tersendiri bagi orang tua,
dan rata rata orang tua akan mengalami tahap-tahap seperti marah, sedih, merasa
bersalah, tak mau menerima kenyataan, sampai depresi dan ingin bunuh diri.
“Dua
bulan lebih aku mengalami depresi yang cukup parah setelah Avie dinyatakan
autis”
“Mana
mungkin dia Autis, wong tadinya sudah bisa nyanyi 30 laguan sewaktu umur 1,5
tahun...”
“... Aku
tertegun begitu aneh.. begitu buruk .. aku hanya mengatakan kepada Dokter :
Down Sindrom dok.. kelainan kromosom dok… cacat mental dok..”
“...
Kenapa harus saya? kenapa harus Lauda yang menghadapi kenyataan ini? Salah saya
apa? Satu hal yang ada dalam hati dan pikiran saya waktu itu adalah MATI…..
mungkin KEMATIAN adalah solusi yang terbaik..”
Anak
adalah karunia terbesar yang diberikan sang Pencipta kepada manusia. Dalam
menciptakan manusia Allah mempunyai rahasia tersendiri. Ada yang dilahirkan
normal, dan ada pula yang di lahirkan istimewa, salah satunya adalah anak-anak
yang dilahirkan sebagai tunadaksa.
Di sudut
mana pun di dunia, reaksi orang tua –terutama ibu-- kala mendapatkan berita
buruk yang berkaitan dengan anaknya tak akan jauh-jauh dari pengakuan-pengakuan
di atas. Dan itu wajar, sangat manusiawi. Tapi, akankah kita sebagai orang tua
akan terus menyesali dan terpuruk dalam kesedihan tanpa berbuat sesuatu untuk
anak-anak kita? Tentu tidak!
Mereka
adalah anak-anak dari surga. Mereka datang di antara kita untuk menunjukkan
kebesaran Allah, menguji sejauh mana kesabaran dan keikhlasan kita, menjadi
‘sarana’ kita mengenal dan mengingat Allah.
Sesungguhnya,
yang disebut cacat itu bukanlah kelemahan fisik atau mental tetapi yang pantas
disebut cacat adalah mereka yang tidak mampu beramal sholeh. Dan anak-anak itu,
tanpa melakukan apa-apa, dengan segala keterbatasannya, hanya dengan
senyumannya, mampu menyadarkan kita bahwa masih ada keajaiban di muka bumi ini,
bahwa masih ada sesuatu yang layak kita syukuri.
Bukankah
sahabat terbaik adalah sahabat yang kala kita menatapnya kita teringat pada
Allah? Seperti itu juga seorang anak. Anak terbaik adalah anak yang kala orang
tuanya menatapnya, mereka ingat pada Allah. Bukankah seperti itu juga yang
dilakukan anak-anak istimewa itu? Dengan segala keterbatasannya, mereka mampu
membuat kita berucap “Subhanallah” bahkan untuk hal-hal kecil yang mampu mereka
lakukan.
Anak-anak
tunadaksa seperti biola tak berdawai. Mereka punya keindahan tersendiri, mereka
punya nada-nada, suara-suara tersendiri tapi mereka tak mampu menyuarakannya
seperti kita berteriak kepada dunia. Mereka punya jiwa, punya hati. Jiwa
disentuh dengan jiwa, hati disentuh dengan hati. Mereka punya dunia sendiri
yang tak mungkin bisa kita masuki, tapi bukan berarti tak bisa kita pahami.
Memang
bukan hal yang mudah menjalani peran sebagai orang tua dari anak-anak istimewa
itu. Dan itu bisa menjelaskan kenapa masih saja ada bayi-bayi berkepala besar,
berwajah mongoloid, dan kelainan-kelainan lain, yang ditemukan di tempat sampah
atau di depan pintu panti asuhan. Kita tak bisa serta merta menyalahkan orang
tua yang membuang anaknya seperti itu, bisa saja mereka berpikir bahwa mungkin
nasib anaknya akan jauh lebih baik bila ditemukan dan dirawat orang lain
daripada dirawat sendiri oleh mereka.
Ah...tapi
tetap saja miris rasanya hati ini jika membayangkan bayi-bayi itu, dengan
kepala mereka yang besar, dengan mata mereka yang melirik ke kiri dan ke kanan,
dengan wajah yang tampaknya sama di seluruh dunia, anak-anak itu, dengan wajah
mongoloid, dengan air liur yang selalu menetes, dengan tangan yang kaku, mereka
yang tak pernah menangis, ditinggal begitu saja di tempat sampah, di depan
pintu panti asuhan....
Bukankah
cinta adalah berarti mau menerima dalam kondisi
apa pun dan melakukan yang terbaik untuk membuat orang yang kita cintai
bahagia? Bagaimanapun, menerima mereka apa adanya, tidaklah sama dengan sikap
tidak peduli.
Tulisan
ini terilhami dari roman “Biola Tak Berdawai” karya Seno Gumira Ajidarma dan
curahan hati orang tua yang anaknya divonis menderita down syndrome atau autis,
diambil dari milis puterakembara dan website POTADS, Persatuan Orang Tua Anak
dengan Down Syndrome